Sitor Situmorang Dalam 100 Kenangan

Mengenang penyair Danau Toba sebagai manusia Indonesia.

Percayalah, manusia mati tak sekadar meninggalkan nama. Ada warisan kultural hasil persemaian proses kehidupan. Warisan yang dapat dijadikan perenungan, lalu disarikan menjadi semangat, motivasi, inspirasi. Tahun 2014 Sitor Situmorang wafat. Karya-karyanya, seperti halnya hidupnya yang panjang, meninggalkan roh bagi Indonesia.

Jejak budaya Sitor Situmorang begitu panjang dan penuh warna. Sebagai seniman, ia multitalenta di berbagai panggung budaya. Pencapaiannya sebagai intelektual tak diragukan lagi. Ia menjadi saksi dan pelaku sejarah, pengamat yang jeli, petapa dengan proses tarak hingga puncak kebijaksanaan. Menyitir pendapat budayawan JJ Rizal, Sitor adalah salah satu individu kreatif yang tak memisahkan kerja estetis dan kerja politik.

Napas proses kreatif Sitor sungguh unik. Estetika terbentuk melalui serangkaian panjang petualangan, persaingan, pun pergantian rezim. Sebagai garda depan nasionalis serta Sukarnois sejati, Sitor mampu menggabungkan romantisme revolusi, wajah manusia Indonesia, zeitgeist, serta gagasan nasion Indonesia yang masih seumur jagung.

Sitor Situmorang adalah sastrawan, kritikus berlidah pedas, aktivis kebudayaan, kritikus film, dan purwarupa manusia Indonesia.

Gagasan tersebut menarik perhatian sejumlah pemuda masa kini untuk menggelar “100 Kenangan Sitor Situmorang: Belajar Menjadi Indonesia”. Lebih dari sekadar merayakan peran Sitor, ini prakarsa baik yang tumbuh untuk menyalurkan semangat hidup Sitor kepada generasi penerus bangsa.

Acara ini bagaikan dering alarm bagi masyarakat hari ini: ada orang pernah berjasa, berdarah, dan berkalang jelaga untuk berbakti demi kebudayaan kita. Lupa berarti tak lagi kenal jiwa sendiri. Sitor salah seorang yang percaya kebudayaan adalah roh sebuah bangsa.

Acara yang dibuka pada 20 April 2015 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini hasil iktikad baik sejumlah pemuda bersama keluarga Sitor. Festival ini menghadirkan sejumlah kerabat dekat sang penyair, seperti Poniaman Sitanggamg dan JJ Rizal.

Keakraban personal dan solidaritas kekeluargaan menjadikan acara ini bernuansa intim dan khidmat. Yang juga terwakilkan lewat sepucuk foto Sitor ketika bercengkerama dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Demikian dekat.

Penyair Danau Toba. Begitulah Sitor dikenal. Puisi “Malam Lebaran, bulan di atas kuburan“, senantiasa hidup di relung ingatan kesusastraan Indonesia. Melekat dan bergema melintasi zaman. Puisi ini menjadi magnum opus, meski tak pernah tercatat dalam berbagai antologi karya Sitor.

Melalui enam fotonya, Poriaman Sitanggang memotret persentuhan Sitor dengan lingkungan sekitar. Pameran bertajuk “Indonesia di Mata Anak Toba” merupakan hasil proses panjang Poriaman. Dia mengikuti perjalanan Sitor tanpa pamrih. Ia merekam tiap momen kepulangan Sitor ke tanah Batak. Episentrum yang menarik perhatian tentu foto keakraban Sitor dengan Pram.

Acara ini hendak menunjukkan kontribusi Sitor di berbagai lapangan kebudayaan. Sitor bukan sekadar sastrawan atau intelektual. “Bersama Usmar Ismail, Sitor adalah orang yang memandang bahwa film bisa menjadi medium membangun kebudayaan Indonesia. Dia salah seorang yang menyediakan punggungnya untuk membangun kebudayaan,” kata Rizal.

Menurut Rizal, peran Sitor di dunia perfilman bukan sekadar sorak hore. Sitor punya dua peran besar di perfilman kita. Pertama, selepas pulang menimba ilmu sinema di University of California, Los Angeles, Sitor giat mengajar dan melahirkan beberapa sineas kelas kakap. Sutradara Wim Umboh, salah satunya.

Kedua, terbukanya tabir sejarah tentang proyek rekonsiliasi antara Indonesia dan Jepang melalui film. Sebuah megaproyek yang kolaboratif. Sitor diundang ke Jepang untuk mewujudkan skenario film epik bersama Yukio Mishima. “Film itu disutradarai Akira Kurosawa. Tentang pendudukan Jepang di Indonesia. Sayang, Mishima keburu harakiri, dan proyek pun batal,” kata Rizal.

Jejak Sitor di perfilman yang paling monumental adalah film Darah dan Doa. Film yang menjadi tonggak sejarah perfilman nasional ini mampu menampilkan sosok pahlawan seutuhnya. Baik serta buruknya.

Tak banyak generasi baru mengenal Sitor. Dalam diskusi “Belajar Menjadi Indonesia, Belajar dari Sitor Situmorang”, pembicara Gita Wahyudi mengisahkan pengalamannya kala bersua Sitor semasa penahanan. “Sitor orang Indonesia sejati. Ketika kami bertemu pertama kali, dia begitu ramah. Tanpa memandang perbedaan latar sosial, agama, atau suku,” ujarnya.

Kebudayaan yang dipanggul Sitor melengkapi identitas keindonesiaannya. Seorang yang membumi, rajin berbagi wawasan, dan mampu mengangsurkan keramahan yang tulus. Identitas kultural tersebut bukan hadir tanpa sebab. Dengan proses panjanglah identitas terbentuk.

Sitor tak menaruh kerja kreatifnya setinggi menara gading. Inilah landasan moralnya. Tak segan turun ke lapisan sosial masyarakat paling bawah lewat kerja politik. Sitor, yang sempat menduduki kursi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dipenjara semasa Orde Baru akibat sepak terjangnya seputar peristiwa kebudayaan 1965. Meski dikucilkan serta dicerca, dia tetap tekun menulis puisi-puisi geografis. Kalam puisi Sitor mencakup sepenjuru wilayah wawasan Nusantara.

Sebagai petualang, Sitor telah melanglang buana. Menggali ilmu hingga Belanda. Salah seorang kerabat yang hadir di “100 Kenangan Sitor Situmorang” menyebutkan, “Dia memang tak berduit banyak. Hartanya ada di sini (menunjuk kepala). Hidupnya terus berkelana. Hingga beberapa tahun sebelum meninggal, masih sempatnya dia pulang.”

Dalam kumpulan cerpen Ibu Pergi ke Surga yang diluncurkan pada Selasa pekan lalu, tersirat kecakapan Sitor sebagai pemikir ulung dan petualang yang flamboyan. “Penerbitan ulang kumpulan cerpen ini diharapkan meneruskan semangat ayah kami kepada generasi muda,” ujar Gulontam Situmorang.

Seratus hari sudah sang penyair pergi ke surga. Sitor telah melakukan banyak kerja inspiratif. “100 Kenangan Sitor Situmorang” bukan untuk merayakan duka. Semangat Sitor harus terus dilestarikan. Semangat berbagi, memahami nilai sendiri, bekerja demi kebudayaan, dan menjadi Indonesia.

Di atas panggung, para kerabat Sitor Situmorang menari Tor-tor diiringi rancaknya komposisi musik Batak. Mereka menari. Mereka meneruskan semangat Sitor Situmorang sebagai manusia Indonesia. [*]

ALINDA RIMAYA